IDENTITAS BUKU
a. Judul buku : Ranah 3 Warna
b. Pengarang : Ahmad Fuadi
c. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
d. Cetakan ke- : 5
e. Jumlah halaman : 473 halaman
f. Jenis kertas : Book paper
g. Tahun terbit : Januari 2011
h. Negara : Indonesia
i. Bahasa : Bahasa Indonesia, Arab, Minang, Inggris, dan Prancis.
j. Genre : Pendidikan, Religi, Roman
k. ISBN : 978-979-22-6325-1
Sinopsis:
Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika.
Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah?
Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah.
Rupanya “mantra” man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat “mantra” kedua yang diajarkan di Pondok Madani: man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua impiannya?
Ke mana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu? Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian dan Michael Jordan dan Kesatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh?
Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa tak berkesudahan. Tuhan sungguh bersama orang yang sabar.
Ringkasan
Novel Ranah 3 Warna ini menceritakan tentang kesungguhan seseorang yang ingin membuktikan kepada semua orang bahwa ia bisa menggapai apa yang ia inginkan, walaupun orang lain memandangnya sangat mustahil akan terjadi. Itulah yang terjadi pada tokoh Alif pada novel ini, yang diceritakan bahwa ia benar-benar ingin menjadi Habibie dan sekolah di Amerika seperti cita-citanya waktu masih sekolah di MTsN bersama Randai temannya. Ia bertekad akan segera kuliah walaupun harus mengikuti ujian persamaan SMA untuk mendapatkan ijazah, karena di Pondok Madani tidak mengeluarkan ijazah SMA, setelah itu barulah bisa untuk mengikuti ujian UMPTN. Ia kerahkan seluruh usaha agar mendapatkan hasil yang terbaik. Dan pada akhirnya perjuangannya tidak sia-sia sehingga ia lulus dan masuk Universitas Padjadjaran di Bandung jurusan Hubungan Internasional. Walau bukanlah jurusan Teknik Penerbangan ITB seperti yang ia inginkan, tetapi dari Universitas itulah kesuksesannya berawal.
Tiba waktunya ia harus ke Bandung, memulai kuliah. Sejak saat itu, ia tinggal bersama Randai dalam satu kamar kos. Ia berjanji sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang lain. Alif memasuki masa yang baru, menjadi seorang mahasiswa. Alif harus melewati serangkaian ospek untuk bisa lebih mengenali kampus dan berkenalan dengan teman-temannya yang baru. Ada Wira, Agam, dan Memet. Saat masuk Kampus banyak sekali permasalahan dan pengalaman yang ia dapat selama kuliah di Bandung mulai dari masalah uang bulanan, tidak ada uang untuk membayar buku, belajar menulis dengan Bang Togar yang sangat menguras pikirannya. Saat belajar menulis dengan Bang Togar, Alif langsung diberi tantangan untuk membuat satu artikel dan dikumpulkan keesokan harinya. Setelah ia mengumpulkan tulisannya, Bang Togar tanpa ampun memberi tanda silang besar pada artikel yang Alif buat. Setelah itu Alif pun memperbaiki tulisannya tersebut. Tidak sia-sia, artikel yang ia buat akhirnya dimuat di majalah Kutub. Alif pun membeli 3 majalah kutub yang akan ia kirim untuk orang tuanya, untuk dipamerkan ke Randai, dan untuk dirinya sendiri. Namun, Alif memilih berhenti belajar dengan Bang Togar, dikarenakan metode pembelajaran menulis yang Bang Togar berikan sangat berat dan menyiksa diri. Alif juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot waktu itu. Ia jatuh cinta pada gadis yang mempesona itu.
Alif telah melewati semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik. Setelah beberapa hari, Amak mengirim Alif surat yang menyatakan akan ke Bandung dalam beberapa hari. Alif pun sangat senang serta meminta Randai untuk meminjamkan kamarnya dalam beberapa hari. Namun setelah beberapa hari, Amak mengirimkan telegram yang berisi bahwa Alif disuruh untuk pulang ke Maninjau karena Ayah sedang di rumah sakit. Dengan bekal uang pinjaman uang dari Randai, Alif pun pergi ke Maninjau. Setelah sampai di Maninjau, Alif langsung pergi ke Rumah Sakit tempat Ayah di rawat. Di Rumah Sakit ia melihat Ayahnya terbaring lemah, ia pun menghampiri Ayahnya dengan wajah sangat sedih. Alif menceritakan pengalaman yang telah ia dapatkan selama kuliah di Bandung. Kemudian ia melihat kamera tua yang selalu di bawa Ayah kemana pun Ayah pergi. Disaat itulah Alif beserta keluarga berfoto bersama dengan kamera Ayah. Setelah beberapa hari Ayah dirawat, akhirnya Ayah boleh pulang kerumah, mendengar kabar tersebut alif sangat senang. Keesokan harinya Alif berencana untuk balik ke Bandung. Tapi, ketika Amak membangunkan Alif saat subuh, kondisi Ayah semakin memburuk dan pada akhirnya Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Banyak sekali kenangan yang Alif lalui bersama Ayah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Ayah berwasiat kepada Alif untuk menjaga Amak dan kedua Adiknya, dan juga untuk menyelesaikan apa yang telah ia kerjakan.
Setibanya di Bandung, ia disambut hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa belasungkawa atas meninggalnya Ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, Amaknya di Kampung sana bekerja keras membanting tulang sendirian untuk dapat membiayai Alif. Ia tak tega dan merasa terlalu memberatkan Amaknya. Ia pun berusaha bagaimana caranya untuk bisa membiayai diri sendiri dan juga keluarganya di Kampung. Maka ia mulai menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Dan bahkan menjadi guru privat. Ia menekan segenap ego dan gengsi. Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun, bahkan beberapa ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus pada pekerjaannya. Dan ketika Alif bekerja door to door saat liburan kuliah ia mendapat musibah, ia di rampok oleh orang yang tak dikenal. Setelah babak belur, ia pulang dengan tangan kosong dan juga kehilangan si Hitam, sepatu dari Ayahnya. Ketika sampai di rumah kos, saat ingin membuka pintu seluruh tubuhnya kaku dan tiba-tiba ia pingsan bagai seseorang di tembak sniper. Ternyata Alif menderita penyakit tifus, ia pun dirawat selama kurang lebih 1 bulan. Setelah semua cobaan silih berganti, ia hampir putus asa. Lalu ia teringat suatu kalimat di Pondok Madani “Man shabara zhafira” yang artinya siapa yang sabar akan beruntung. Pada akhirnya ia mengambil jalan sebagai penulis dengan menemui Bang Togar lagi. Akhirnya keseriusannya dalam menulis berhasil membuat tulisannya masuk Koran Manggala. Melalui tulisan yang ia buat, ia mendapatkan uang tambahan dan bisa mengirim uang untuk Amak di Kampung.
Suatu ketika, Alif berselisih paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara Alif meminjam komputernya, hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak meminjam barang kepada orang lain. Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar yaitu mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada adalah tempat yang akan Alif tuju, impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika akhirnya tercapai. Raisa yang merupakan perempuan yang Alif sukai juga lolos seleksi pertukaran pelajar. Alif menambah banyak teman dari rombongan pertukaran pelajar tersebut.
Tiba waktunya Alif beserta para duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang ksatria berpantun. Ketika sesampainya di Kanada, kelompok dibagi oleh sang kakak pemandu. Alif ditempatkan di Quebec bersama homologuenya, Francois Pepin. Mereka pun sangat beruntung memiliki orangtua angkat yang baik, Frandinand dan Mado. Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan “Man Jadda Wajada”, ia berhasil bersama Francois Pepin merebut medali emas. Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan kebolehan mereka memainkan tarian adat dan memasak makanan asli Indonesia yang memikat. Semakin menggelegak semangat mereka memperjuangkan tanah sendiri di rantau.
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus. Tapi di hari kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang tidak disangka terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai! Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya. Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya dengan orang tua angkatnya, Frandinand dan Mado untuk mengunjungi mereka kembali di Kanada dengan seorang istrinya. Di puncak bukit kota itu dia menatap terbitnya matahari dengan istrinya, dia bernostalgia dengan perjuangannya yang keras dia bisa menjadi besar seperti ini, berkat 2 mantra dari Pondok Madani “man jadda wajada” dan “man shabara zhafira”. Alif berhasil melalui ranah 3 warna, yaitu Bandung, Amman, dan Saint Raymond.
Kesimpulan:
Alif, lulusan Pondok Madani yang bercita-cita ingin masuk universitas negeri. Ia berjuang sangat keras sampai harus mengulang pelajaran SMA. Akhirnya, ia berhasil masuk UNPAD lewat UMPTN. Banyak rintangan yang ia lalui dalam menempuh hidupnya, apalagi setelah kematian Ayahnya yang membuat Alif hampir putus asa. Tapi buku diarynya semasa di pondok membuatnya bangkit kembali. Ingatannya kembali ke masa di mana Kyai Rais, sosok tauladan Pondok Madani, memberi nasihat dan petuah. Beliau selalu memberi jurus ampuh seperti jurus dua golok dan mantra sakti “Man shabara zhafira”. Sejak mengingat mantra itu, Alif selalu dapat menyelesaikan masalahnya yang terus datang. Sampai akhirnya, semua mimpi Alif tercapai. Ia berhasil menginjak tanah Amman, ke Amerika mewakili pelajar Indonesia, menjadi relawan di stasiun TV di Kanada.
Kelebihan
Cover novel ini sangat menarik dan pada novel ini terdapat bahasa Minang, Inggris, Arab, dan juga Perancis yang sudah dilengkapi dengan arti dari kata yang memakai bahasa asing tersebut, sehingga pembaca mudah memahaminya. Jenis kertas yang digunakan adalah book paper. Book paper ringan dan memiliki warna kekuning-kuningan yang hangat, sehingga kertas ini menambah “nilai” buku. Buku menjadi lebih nyaman dibawa dan dibaca. Novel ini juga memiliki pembatas halaman buku yang berbentuk daun maple.
Kekurangan
Namun faktanya book paper lebih mahal harganya daripada kertas koran sehingga harga novel pun jadi lebih mahal. Isi novel ini juga ada beberapa kata yang salah ketik.
I. UNSUR INTRINSIK
1. Tema Umum : Cita-cita
2. Tema Khusus : Perjuangan dalam meraih cita-cita
3. Tokoh dan watak :
a) Alif : Tokoh “aku” dan tokoh utama.
– Pekerja keras : Pintu kamar pun aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri, hanya ditemani bukit-bukit buku.
– Tidak mudah putus asa dan ikhlas : Akhirnya aku memilih untuk ikhlas saja, walau diperlakukan dengan keras. Hari ini aku sibuk sekali karena harus memperbaiki naskah, mengetik ulang, mengantar dan dicoret Bang Togar. Sampai berulang-ulang.
– Selalu bersyukur : Aku mendapatkan teman yang baik dan pengalaman yang sangat aku impikan sejak dulu. Sudah seharusnya aku selalu bersyukur.
– Sabar dalam menghadapi banyak cobaan : Surat ini sesungguhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh badai dan gelombang ganas hanya bermodalkan baju sabar. Man shabara zhafira.
– Bertawakal : Aku mencoba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan usaha diatas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan pada Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya.
– Patuh kepada orangtua : “Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu.” kata Amak.
b) Randai : Teman Alif sejak kecil yang selalu bersaing dalam meraih impian.
– Merendahkan orang lain : “Hmm, kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”
– Setia kawan, baik hati, mau menolong : “Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu di sini sampai ketemu kos yang pas.”
– Pemarah : “Mana mungkin wa’ang bisa bantu. Ini kan pelajaran Teknik, pasti nggak ngerti!” suaranya meninggi “Tadi diapakan ini? Bertahun-tahun komputer ini tidak pernah rusak!” Tangannya sekarang membuka kap CPU dengan kasar, mencabut beberapa kabel sekali renggut dengan keras.
c) Raisa : Teman sekaligus tetangga Alif di Bandung, dan Alif jatuh hati padanya.
– Ramah, penuh senyum, adil : Dalam pandanganku, Raisa dengan adil membagi perhatian, senyum, dan tawa yang sama kepada ceritaku dan Randai.
– Percaya diri : Acara ditutup dengan Raisa tampil di depan. Seragam jas biru tua semakin menambah aura percaya dirinya yang besar.
d) Amak : Ibu Alif.
– Baik hati, bijaksana, penyayang : “Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, Insya Allah selalu dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang.”
e) Ayah : Ayah Alif.
– Menepati janji : “Alif, ini semua formulir yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras.”
– Penuh perhatian : “Ayah dan Amak akan doakan dengan sepenuh hati.” kata Ayah menatapku. Tangannya mengusap kepalaku sekilas.
– Keras kepala : Sebetulnya, Pak Mantri Pian sudah menganjurkan Ayah untuk banyak beristirahat, tapi dia tetap juga keras kepala untuk batanggang menonton Piala Eropa bersamaku sampai subuh.
– Bijaksana : “Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga nama baik dan kelakuan.”
f) Kiai Rais : Kepala Pondok Pesantren Madani.
– Teladan, bijaksana : “Cobalah bayangkan. Kalian yang dikaruniai bakat hebat dan otak cerdas adalah bak golok tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan beberapa masalah. Tapi kalau kalian tidak serius, tidak sepenuh tenaga dan niat, maka kalian tidak akan maksimal, misi tidak akan sampai, usaha tidak akan berhasil.”
g) Bang Togar : Kepala redaksi koran tempat Alif bekerja.
– Keras, agak sombong : “Tapi dia sangat keras dan agak sombong. Banyak yang mau belajar menulis sama dia, tapi sering ditolak atau orang itu gagal di jalan.” kata Mitra berbisik.
h) Rusdi : Teman satu grup Alif yang unik dan pandai berpantun.
– Percaya diri : “Tapi kitalah, ya kita, yang sebetulnya laki-laki berkualitas terbaik. Kitalah manusia unggul.”
– Mudah bergaul : Tidak jauh dariku, Rusdi juga sedang berkenalan dengan beberapa orang lain. Tidak butuh waktu lama untuk membuat anak-anak Kanada ini mengerubungi Rusdi.
i) Francois Pepin : Homologue Alif di Quebec.
– Lucu, murah senyum, baik hati : Aku kembali tertawa melihat mimiknya, mulut tersenyum lebar, alis terkembang, mata terbelalak. Mungkin aku tidak dapat mitra bahasa Inggris, tapi setidaknya aku mendapat seorang kawan yang baik dan lucu.
j) Mado : Ibu angkat Alif di Quebec.
– Baik hati, berhati lembut, penuh perhatian : Mado, perempuan berambut pirang yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi sebungkus biskuit.
k) Ferdinand : Ayah angkat Alif di Quebec.
– Banyak berbuat daripada bicara, perhatian, baik hati : Sedangkan Ferdinand banyak berbuat daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke koran di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya, Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City, menanyakan apakanh punya komputer yang tidak dipakai.
l) Kak Marwan : Senior di redaksi koran tempat Alif bekerja.
– Bijaksana : “Tugas kalian adalah sebagai duta muda bangsa di mata orang Kanada. Jadilah cerminan orang Indonesia yang terbaik. Gunakan setiap kesempatan untuk menjadi yang terbaik.”
m) Wira : Teman Alif di Universitas Padjadjaran.
– Pemarah, pemberani : Di kananku, Wira si kera ngalam yang berparas putih ini telah menjelma seperti udang rebus. Merah padam. Matanya tak lepas-lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya.
n) Agam : Teman Alif di Universitas Padjadjaran.
– Mudah bergaul, humoris, baik hati, usil : Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat sepatu orang lain atau melempar bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk.
o) Memet : Teman Alif di Universitas Padjadjaran.
– Cinta damai, suka membantu : Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang Agam berbuat usil. Kegiatan utama memet adalah sibuk membantu siapa aja. Kalau kami kehausan, dia akan dengan senang hati memberikan kami botol minum.
4. Amanat
Pada novel ini diceritakan bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil asalkan seseorang itu mau berusaha keras dan mau bersabar terhadap segala ujian yang sedang dihadapi, karena orang yang bersabar akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dariNya. Kejarlah mimpi dengan kerja keras yang maksimal, berdoa dan berserah diri kepada Allah. Berpegang teguh pada prinsip, memiliki kemauan dan tekad yang bulat, serta tidak mudah menyerah adalah kunci menuju keberhasilan hidup.
5. Alur : Campuran
6. Sudut pandang : orang pertama pelaku utama.
Contoh: “Aku diam saja sambil menggigit bibir.”
7. Gaya bahasa: Resmi
8. Latar
a) Latar tempat :
– Danau maninjau : Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dianungi sebatang pohon kelapa yang melengkung seperti busur.
– Kamar Alif : Kamarku kini seperti toko barang bekas.
– Kampus : Kampusku, jurusan Hubungan Internasional, terletak di perbukitan Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss.
– Depan kos Bang Togar : Dengan terengah-engah aku sampai juga di depan kos Bang Togar.
– Bandung : Hampir setahun aku di Bandung.
– Rumah Kos Randai : Akhirnya aku sampai di rumah Kos Randai, sebuah rumah yang terjebak diantara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang.
– Maninjau : Dengan duit pinjaman dari Randai, malam itu juga aku pulang ke Maninjau.
– Cibubur : Begitu menginjakkan si Hitam di gerbang kamp persiapan Cibubur.
– Kota Amman : Begitu satu bus besar kami membelah Kota Amman, semua mata kami kini terbuka lebar.
– Montreal : Setelah beberapa hari di Montreal, aku mulai berani untuk berjalan-jalan sendiri.
– Kanada : Ternyata berburu di Kanada merupakan sebuah olahraga dan budaya.
b) Latar waktu :
– Setahun Lalu : Setahun lalu, beliaulah yang datang.
– Sudah beberapa minggu : Sudah beberapa minggu Ayah terserang batuk.
– Seminggu : Seminggu ini aku rasanya ingin terus mengulum senyum.
– Empat tahun lalu : Empat tahun lalu aku merantau ke Pondok Madani.
– Suatu pagi : Pada suatu pagi, Bandung begitu gelap seperti sudah malam.
– Hampir setahun : Hampir setahun aku di Bandung.
– Seminggu berlalu : Seminggu berlalu.
– Hari Minggu pagi : Hari Minggu pagi ini, Mado dan Ferdinand terus mondar mandir di dapur.
– Lebih dari setengah jam : Lebih dari setengah jam, Rusdi melampiaskan kegembiraannya, sampai aku iri dengan nasib baiknya ini.
– Beberapa bulan : Tidak terasa sudah beberapa bulan aku tinggal di tanah berbahasa Prancis ini.
– Hitungan bulan : Dalam hitungan bulan, pelan-pelan, kami anak-anak Indonesia menjelma menjadi selebriti lokal di Saint Raymond.
c) Latar suasana :
– Menegangkan : Semakin dekat waktu pengumuman semakin kacau mimpiku dan semakin tidak enak makanku.
– Menyedihkan : Lalu beberapa isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan Adik-adikku. Pikiran-pikiran aneh muncul silih berganti. Safya si bungsu yang sangat lengket dengan Ayah terus memegang lengan Ayah.
– Mengharukan : Rasanya setiap helai bulu di badanku berdiri tegak, seakan ingin ikut menghormat bendera.
– Menyenangkan : Aku kini sudah jadi pemuda dewasa, lengkap dengan semua syarat yang disampaikan Raisa. Saatnya aku akan sampaikan surat penting.
II. UNSUR EKSTRINSIK
1. Nilai Religius :
– Manusia berencana, Allah yang menentukan. Apabila kita telah berusaha dengan segenap daya dan upaya, maka berserah dirilah dengan tetap mengharap ridha Allah.
Contoh: Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doaa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada putusan Allah. Aku coba ikhlaskan semuanya.
– Kita harus sabar dalam menjalani hidup.
Contoh: Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah masa paling tepat bagiku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Allah bersamaku.”
2. Nilai Moral :
– Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan kemampuan orang lain. Setiap manusia berhak memiliki kesempatan yang sama untuk meraih keberhasilan.
Contoh: “Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”
– Tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
Contoh: Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?
– Berbakti kepada kedua orang tua.
Contoh: Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi sesendok aku suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan saputangan.
3. Nilai Sosial
– Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam setiap keadaan.
Contoh: Untunglah Zulman, temanku yang resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya semua buku SMA, bersedia meminjamiku.
– Sedekahkan rezeki yang kita miliki kepada orang yang lebih membutuhkan.
Contoh: Sore itu, aku datangi sebuah panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais lembar terakhir isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus panti itu.
– Menjaga kepercayaan adalah hal yang penting dalam persahabatan.
Contoh: Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya, masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.
4. Nilai Budaya
– Kebiasaan yang pernah atau sering dilakukan tokoh bersama tokoh yang lain.
Contoh: Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.
5. Nilai Pendidikan
– Memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih mimpi. Niat adalah awal yang baik untuk memulai mimpi.
Contoh: Pagi itu, dengan mengepalkan tinjuku, aku bulatkan tekad, aku bulatkan doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan kalau niat kuat telah dihunus, halangan apa pun akan aku tebas.
– Tetap optimis, tetap berjuang dan tetap semangat.
Contoh: Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak semangatku untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.
– Jangan bermalas-malasan.
Contoh: “Coba kau lihat. Berapa pun mereka bekerja keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”
– Dengan kesungguhan dan keseriusan belajar, kita dapat meraih kesuksesan.
Contoh: Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wa jada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan.
6. Nilai Estetika
– Berkaitan dengan unsur keindahan yang nampak dalam kehidupan tokoh sehari-hari.
Contoh: Langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau yang biru pekat, dan angin danau yang lembut mengelus ubun-ubun.