RESNSI NOVEL RANAH 3 WARNA
1) Data buku
a. Judul buku : ranah 3 warna
b. Penulis : Ahmad Fuadi
c. Jumlah halaman : 473 halaman
d. Gambar dan warna : warna sampul coklat halaman warna cream
e. Penerbit : PT. Gramdia Pustaka Utama
f. Alamat penerbit : Jln. Palmeran Barat 29-37 Jakarta 10270
2) Unsur instrinsik
a. Tokoh : Alif, Randai,Ayah alif,Amak Alif,Bamg Togar( orang tua angkat) Mado dan Franc,Wira,Agam,Memet,Raisa,Laili,Safya,Pak Dadang,Kang Romli,Rusdi,
b. Watak tokoh :
• Alif : yang ingin mencpai sesuatu , membuat dirinya termotivasi
• Randai : yang selalu menguatkan Alif
• Ayah Alif : yang memberi motivasi
• Amak Alif : menjai ibu yang kuat dan terbaik
• Bang Togar : yang memebri tantangan kepada Alif
• Mado : menjadi orang tu angkat Alif
• Franc : orang tua anagkatAlif
• Wira : teman se kampus yang semangat
• Agam : sepemikiran dengan Alif
• Memet : sepemikran dengan Alif
• Raisa : orang yang ramah , suka senyum, yang di suakai Alif
• Laili : adik yang pengertian kedapa abang dan amak
• Safya : adik yang pengertian kedapa abang dan amak
• Pak Dadang : baik
• Kang Romli : baik, pengertian kepada ALIF
• Rusdi : teman akrab Alif
c. Alur
Pengenalan situasi/ babak awal
“Dikisahkan, ia baru saja tamat bersekolah dari Pondok Madani. Selepas dari pesantren, Alif dilingkupi banyak cita-cita, salah satunya adalah melanjutkan pendidikan di bidang teknologi, suskses seperti Pak Habibie dan kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Namun keinginan Alif tersebut tiba-tiba dijegal fakta bahwa ia tak memiliki ijazah. Memang pada saat itu, pondok pesantren belum berwewenang untuk menerbitkan ijazah layaknya sekolah yang disubsidi pemerintah. Tapi hal tersebut tidak menggoyahkan cita-cita Alif. Ia kemudian berhasil memperoleh ijazah dengan mengikuti ujian penyetaraan. “
Pengungkapan peristiwa
“Alif kemudian ikut ujian UMPTN dan berhasil kuliah di Bandung. Tepatnya di jurusan Hubungan Internasional. Meski tidak berhasil masuk ke ITB, tapi bagi Alif tak mengapa. Ia tetap menjalani kuliahnya dengan sungguh-sungguh. Meski ia sering mengalami masalah seperti keuangan dan semacamnya. Awalnya Alif hampir menyerah, hanya saja ia kembali teringat mantra “man shabara zhafira” yang artinya, siapa yang bersabar akan beruntung. Ia memilih unutk berjuang dan bersabar. “
Munuju pada konflik
“Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah?
Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyera”
Puncak konflik
“
Rupanya mantra “man jadda wajada” saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat mantra kedua yang diajarkan di Pondok Madani: ”man shabara zhafira’. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua impiannya?”
Penyelesaian
“Pada akhirnya, Alif berhasil memperbaiki kondisi keuangannya dengan cara menulis. Bahkan dengan hasil menulis itu, ia bisa mengirimkan sedikit uang bagi keluarganya di kampung. Seiring berjalannya waktu, Alif tiba pada keberuntungannya yang pertama dimana ia terpilih sebagai mahasiswa utusan dalam program pertukaran belajar ke Benua Amerika. Alif memilih Negara Kanada. Di sana ia tinggal bersama keluarga angkat. Mereka sangat dekat. Saat tiba waktu Alif untuk kembali ke Indonesia, keluarga angkatnya di Kanada sangat sedih. Namun Alif meninggalkan janji untuk mereka, kelak ia akan kembali ke Kanada. Janji tersebut ditepatinya 11 tahun kemudian. Ia kembali berkunjung ke Kanada bersama isterinya. “
d. Alur : alur campuran
e. Tema : menggapi impian yang di inginkan
f. Sudut Pandang : orang pertama
3) Unsur Ekstrinsik
a. Sejaranh biografi /penagarang
Ahmad Fuadi lahir di Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972 . Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau. Ibunya adalah seorang guru SD dan ayahnya seorang guru madrasah. Ia menghabiskan masa kecilnya dan bersekolah hingga sampai Sekolah Menengah Pertama di Bayur.
Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, Ahmad Fuadi merantau ke Jawa untuk mematuhi permintaan dari Ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Di Pondok tersebut ia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Di Pondok tersebut Ahmad Fuadi mendapat nasehat dari guru-guru atau ustad-ustadnya salah satunya adalah “man jadda wajada”, yang artinya “barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan menemui kesuksesan”, serta ada sebuah kata-kata lagi yang selalu dia ingat bahwa “orang yang paling baik di antaramu adalah orang yang paling banyak manfaat.” Akhirnya pesan-pesan tersebut yang menjadi prinsip yang selalu ia pegang dalam hidupnya.
Pada tahun 1992, Ahmad Fuadi lulus dari KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogi. Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat kuliah, Ahmad Fuadi pernah mewakili Indonesia mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada tahun 1995-1996. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship tahun 1997.
Tahun 1999, ia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media anad Public Affairs, George Washington University, USA. Merantau ke Washington DC bersama istrinya Danya, juga seorang wartawan dari majalah Tempo. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of Amerika (VOA). Mereka pernah melaporkan secara langsung berita bersejarah peristiwa 11 September 2001 dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Pada tahun 2004, Ahmad Fuadi mendapat beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk sebuah bidang dokumenter. Ia juga pernah menjadi direktur komunikasi di sebuah NGO konsevasi The Nature Conservancy sejak tahun 2007 hingga sekarang.
b. Situasi dan kondisi
Ranah 3 Warna adalah buku ke-2 dari trilogi Negero 5 Menara.Ditulis oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, menerima 8 beasiswa luar negero dan penyuka fotografi. Pernah tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University dan Royal Holloway, University of London ini meniatkan sebagian royalti trilogi ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu, yang berbasiskan sukarelawan.
c. Nilai-nilai
• Nilai moral : bersikap juju, ““Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?”
• Nilai sosial : Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.
• Nilai estetika : Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk menyentuh daun maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali.
d. Isi novel
Novel Ranah 3 Warna ini menceritakan tentang kesungguhan seseorang yang ingin membuktikan kepada semua orang bahwa ia bisa menggapai apa yang ia inginkan, walaupun orang lain memandangnya sangat mustahil akan terjadi. Itulah yang terjadi pada tokoh Alif pada novel ini, yang diceritakan bahwa ia benar-benar ingin menjadi Habibie dan sekolah di Amerika seperti cita-citanya waktu masih sekolah di MTsN bersama Randai temannya. Ia bertekat akan segera kuliah walaupun harus mengikuti ujian persamaan SMA untuk mendapatkan ijazah, karena di PM (PondokMadani) tidak mengeluarkan ijazah SMA, setelah itu barulah bisa untuk mengikuti ujian UMPTN. Ia kerahkan seluruh usaha agar mendapatkan hasil yang terbaik. Dan pada akhirnya perjuangannya tidak sia-sia sehingga ia lulus dan masuk Universitas Padjadjaran di Bandung jurusan Hubungan Internasional, walau bukan Teknik Penerbangan ITB yang ia inginkan, tetapi dari Universitas itulah kesuksesannya berawal. Selama kuliah di Bandung ia mengalami berbagai macam masalah, seperti minimnya uang bulanan, tidak punya uang lebih untuk membeli buku, ditambah lagi saat Ayahnya meninggal dunia karena sakit. Alif sempat berpikir akan berhenti kuliah dan pulang kampung membela ibu dan adik-adiknya, akan tetapi ia sempat berfikir setelah mengingat perjuangannya untuk lulus UMPTN dan juga setelah mengingat nasihat terakhir ayahnya untuk terus melanjutkan keinginannya. Segala masalah yang datang, ia hadapi dengan lebih tegar dan sabar, sehingga ia pun teringat sesuatu yang telah ia pelajari di PM “Man Shabara Zhafira” yang artinya siapa yang sabar akan beruntung. Dan akihirnya untuk mengatasi kesulitan perekonomiannya ia berusaha mencari pekerjaan agar dapat menghasilkan uang tambahan untuk keperluan kuliahnya dan ingin mengirim uang kepada ibu dan adiknya di kampung, karena dia tidak mau membuat ibunya mati-matian banting tulang hanya untuk dirinya. Tidak lama setelah ia mendapat pekerjaan, namun pekerjaan itu tidak berlangsung lama, karena Alif sempat menderita sakit tipus selama 1 bulan, sehingga pekerjaan tersebut tertunda, akhirnya ia beralih menjadi penulis yang kebetulan ia menemukan seorang guru yang sangat pandai dalam urusan menulis dan juga merupakan Pimpinan Redaksi Kutub yaitu Bang Togar. Iapun berusaha agar bisa menjadi muridnya. Perjuangan yang dilakukan oleh Alif tidak sia-sia, setelah banyak coretan-coretan pada kertas yang berisi tulisan hasil karyanya tersebut, akhirnya tulisannyapun dapat dimuat di majalah kampus dan berlanjut sampai ke Koran Manggala. Melalui menulis itulah ia mendapat hasil yang lebih baik, sehingga ia bisa mengirim uang ke ibunya. Keinginannya untuk belajar ke Benua Amerika akhirnya berhasil melalui program pertukaran pelajar yang ia ikuti dan memilih Kanada sebagai negara yang ingin ia kunjungi, disana terjadi proses pembelajaran melalui pekerjaan yang di berikan kepada masing- masing mahasiswa-mahasiswi yang mengikuti program tersebut, mereka juga akan tinggal bersama orang tua angkat masing-masing di sana. Alif sangat terkesan terhadap negara tersebut, dan ia tiba di rumah mendapati Mado dan Franc (orang tua angkat Alif di Kanada). Pada suatu hari mereka mendapat surat bahwa program pertukaran pelajar hanya tinggal 2 minggu lagi untuk mahasiswa itu tinggal di sana, Alif yang mendengar kabar tersebut juga ikut sedih dan berjanji terhadap ke dua orang tua angkatnya itu bahwa ia akan kembali lagi. Beberapa tahun berlalu, tidak disangka setelah 11 tahun kemudian, Alif menepati janjinya untuk kembali lagi ke Kanada kepada orang tua angkatnya dan pada saat itu juga ia didampingi oleh istrinya.
4) Komentar
Menurut saya , Novel ini sangat menarik, Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari novel Ranah 3 warna. Namun, kertas yang digunakan pada novel ini alangkah baiknya tidak menggunakan kertas koran, sehingga buku ini tidak cepat rusak.