Hujan

 kita dibawa mundur kepada kejadian delapan tahun silam, tepatnya ke tanggal 21 Mei 2042, saat bayi kesepuluh miliar baru lahir ke dunia. Saat itu, ketika dunia dihadapkan pada isu pertambahan penduduk yang semakin mengeksponensial dan seakan tak bisa dibendung, ketika dunia sedang mencari jalan keluar atas luar biasa banyaknya orang-orang di bumi dan krisis yang menyertainya, tiba-tiba alam menyediakan solusi tersendiri.

Siklus itu datang, sebuah gunung purba meletus dahsyat dengan suara letusan terdengar hingga 10.000 kilometer. Menyemburkan material vulkanik setinggi 80 kilometer dan menghancurkan apa saja dalam radius ribuan kilometer.

Letusan yang lebih hebat dibandingkan letusan Gunung Tambora dan Gunung Toba puluhan ribu tahun silam itu secara efektif dan signifikan berhasil mengurangi jumlah penduduk dunia hanya dalam hitungan menit.

Lail yang saat itu berusia tiga belas tahun, dalam hari yang tak terlupakan oleh dunia, mendadak sebatang kara dan kehilangan orang tuanya. Tetapi, takdir membawanya kepada Esok, bocah lelaki berusia lima belas tahun yang menyelamatkannya dari reruntuhan tangga kereta api bawah tanah. Bocah laki-laki spesial yang kelak akan menjadi sangat penting dalam hidupnya.

Waktu berjalan cepat. Di bawah stratosfer yang rusak, di antara semrawutnya KTT Perubahan Iklim Dunia, Lail tumbuh dewasa sambil menerka-nerka kemana ujung kisahnya bermuara.

Sejak saat itulah, memori Lail tentang hujan, tentang kebahagiaan, tentang perpisahan, dan juga segala unsur tentang kesedihan, berkelindan menjadi benang kusut yang membingungkan dan membuat sesak. Sampai-sampai, Lail dengan nekatnya datang ke Pusat Terapi Saraf. Berharap paramedis dapat menghapus ingatannya tentang hujan—tentang Esok.

Ya, terutama ingatannya tentang Esok.

Leave a Reply