Resensi “Marajo”

 

 RESENSI

Identitas buku :

Judul : Marajo

Penulis : Amran SN

Penerbit : Diva Press

Tempat terbit : Banguntapan, Yogjakarta

Tahun terbit : 2012

Jumlah halaman : 341 halaman

Rangkuman isi buku

Selepas wafatnya Iskandar Zulkarnain, pemberontakan terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya. Pemberontakan itu mengancam jiwa dan kehormatan Putri Kandauxia, selir kesayangan Iskandar Zulkarnain. Beserta ke tiga anaknya, Olif, Dipang, dan Marajo, sang putri meninggalkan keratin guna menyelamatkan diri. Sayangnya, ganasnya lautan memisahkan mereka. Sehingga, ketiga keturunan Iskandar Zulkarnain itu harus menapaki jejak langkahnya masing-masing secara terpisah. Pohon asoka yang tumbuh di halaman kuill kini sedang berbunga. Warna bunga asoka merah bagai bibir gadis remaja. Setangkai dua, bunga itu jatuh ke tangga kuil. Dua orang bocah sedang duduk di tangga kuil. Seorang berusia empat belas tahun dan yang seorang lagi berusia sekitar dua belas tahun. Bocah lelaki yang berusia dua belas tahun itu berambut pirang. Mereka adalah Dipang dan Marajo. Layaknya, orang yang menetap di Kuil Mogapal, kedua bocah itu harus mengikuti aturan kuil. Kepala mereka dicukur plontos. Pakaian mereka diganti dengan pakaian longgar biksu lainnya. Sebagai anggota junior Kuil Mogapal, kedua bocah ini ditugaskan menyapu halaman kuil. Mereka selalu bersama, hingga takdir memisahkan mereka kembali.

Olif berhasil menjadi Kaisar Romawi, Dipang bertahta di Cina, sedangkan Marajo masih harus menapaki takdirnya sebagai pengembara sambil mencari kedua saudaranya guna melepas rindu. Namun, takdir berkaa lain, pertemuan Marajo dengan Dipang justru bukan untuk membuncah rindu, melainkan menumpahkan darah karena perbedaan karma yang mereka jalani.

Leave a Reply