Resensi novel bulan di atas ka’bah by Fadhli Fathoni

BULAN DI ATAS KA’BAH

 

DATA BUKU

Judul Novel: Bulan di Atas Ka’bah

Penulis: Damien Dematra

Jumlah Halaman: 140 halaman

Gambar dan Warna : Gambar Bulan di Atas Ka’bah

Penerbit: Birde Publishing bekerja sama dengan Gerakan Peduli Pluralisme dan LTN PBNU

Alamat Penerbit: Jl. Taman Pluit Permai Timur No.1A, Jakarta 14450

 

UNSUR INTRINSIK

Tokoh : Nyai Halimah,Asy’ari,Kiai Shihah,Nyai Guru Layyinah,Putri Kiai Shihah,Kiai Usman,dan lain-lain

Watak: Sopan, Taat Beribadah, dan lain-lain

Alur : Alur Maju

Latar: Desa Gedang,Jombang,Pinggir sungai,Pasar,Pesantren, dan lain-lain

Tema: Menceritakan Tentang Kisah hidup KH.Hasyim Asy’ari

Sudut Pandang: Orang Ke tiga

 

UNSUR EKSTRINSIK

Damien Dematra adalah seorang novelis,penulis skenaryo,sutradara,produser,fotografer internasional, dan pelukis. Ia telah menulis 69 novel dalam bahasa inggris dan Indonesia, 57 skenaryo film dan TV series,dan memproduksikan 28 fil dalam berbagai genre,diantaranya obama anak menteng. Sebagai fotografer, ia memperoleh 2 gelar tertinggi fotografi: Fellowship di bidang portraiture dan Art photography dari master photographer association,dan berbagai penghargaan internasional. Sebagai pelukis Damien Dematra telah menghasilkan 365 karya lukis yang diselesaikan dalam waktu 1 tahun,dan saat ini tercatat sebagai pelukis tercepat di dunia versi Word Record Museum.

Damien Dematra aktif sebagai coordinator nasional Gerakan Peduli Pluralisme (GPP) yang website-nya dapat dilihat di www.gerakanpedulipluralisme.com. Ia juga ketua Gerakan Nasional Menulis (GNM) yang website-nya dapat dilihat di www.gerakannasionalmenulis.com. Sebagian Karya-karyanya dapat dilihat di www.damiendematra.com dan facebook Damien Dematra.

 

ISI NOVEL

 

Nyai halimah bermimpi tentang bulan yang jatuh pada kandungannya. Sebuah tanda yang diyakini bhawa anaknya kelak akan mendapat berkah. Setelah menunggu empat belas bulan, lahirlah Hasyim Asy’ari, putranya dengan Kiai Asy’ari, suami pilihan ayahnya. Pemuda tampan yang masih haus ilmu itu diminta seorang kiai untuk menikahi putrinya.

          Selalu hidup dalam lingkungan pesantren, Hasyim telah belajar Al-Quran dan berzikir sejak kecil. Ia pun tumbuh sebagai seorang berhati lembut dan mulai menunjukkan kharisma pemimpin yang bijaksana. Pada masa remaja, rasa dahaganya telah membuatnya mendesak, sang ayah untuk membiarkannya menjadi seorang musafir pencari ilmu, dan ia berguru pada beberapa kiai besar di Jawa dan Madura.

Bak bulan yang muncul kala malam, Hasyim pun tak dapat lari dari takdirnya. Pemuda tampan yang masih haus ilmu itu diminta seorang kiai untuk menikahi putrinya. Akhirnya Hasyim pun menikahi gadis kiai Ya’qub yang bernama Khadijah. Gadis cantik dan berakhlak baik.

Pernikahan itu pun terjadi diikuti perjalanan menuju negeri suci, tanah yang menyelimutinya dengan taburan cinta bak pasir di padang Arafah. Hingga suatu hari, Hasyim mendengar dari istrinya, bahwa ia hamil, betapa senang hasyim mendengarnya, ia berpikir bahwa sebentar lagi ia mau menjadi ayah. Setelah beberapa bulan, akhirnya, Khadijah pun melahirkan, tetapi ia tidak selamat dalam melahirkan bayinya, hanya bayi nya saja yang selamat. Sungguh Hasyim merasakan hatinya bagai teriris, betapa sakit hatinya Hasyim. Dan pada sejak saat itu, ia berjanji pada istrinya. Ia akan menjaga baik-baik bayi mereka.

Hasyim berusaha menjaga bayi itu dengan hati-hati. Hanya saaja, krarena tidak dapat memeberinya Air Susu Ibu, Hasyim akhirnya hanya memeberi air susu biasa, namun bayi manis itu semakin hari terlihat semakin lucu. Setiap subuh, saat bangun, Hasyim memandikan bayinya, memberinya susu, kemudian menggendingknya memperlihatkan kota mekkah menyambut fajar yang indah padanya dan memperkenlakannya pada udara pagi yang segar, kemudian ia menyerahkan pada mbah-nya, dan bersiap-siap untuk ebrjualan ke pasar sampat menjelang tengah hari. Ia membeli bahan makanan di pasar, memasak sendiri di rumah, kemudain makan siang bersama ayahnya yang tiinggal di rumah. Selama lima minggu mereka melakukannya terus-menerus dan tidaka ada satu pun dari mereka yang berkata-kata tenatng Khadijah, smapai Abdullah tiba-tiba buang-buang air besar dan muntahmuntah terus. Saat sakitnya tidak juga berhenti, Hansyim menatap ayahnya tatapan kHawatir. “Saya bawa dia ke klinik.” Hasyim yang dapat merasakan kekhawatiran ayahnya punmembungkus bayinya dan berlari secepat ayahnya punmemmbungkus abyinya dan ebralri secepat kakinya dapat memebwannya, meneylusup di antara para pedangang yang sibuk menar, menyelinap di anatra kaki-kaki unta besar, menuju ke tempat klinik.ia merasa daanya menjadi basah dan bayinya menangis semkain kerass. Nafasnya berpacu sangat keras. Belum pernah ia berlari sedemikian cepat smapai nyawanya senidri nyariisterentang. Bagaikan pohon jati yang kekar, dahanya tertebang kenyataan. Perlahan tidak berani berpikir, merasa, bhkan berharap; sedemikian tegangnya ia akan berbagai aroma ras aharapan yang melebur mencpai titik yang nyaris tidak adapat tertangkap panca indera batin. Lehernya layu da ia tbak terkulai patah. Bayinya diam ak bergerak. Bayi itu begitu keicil, mungil dan… diam.

Suara teriakanya membahana dan mereka yang berdoa di sekitarnya hanya dapat melihatnya. Mereka tahu ia sedang meratapi kematian dan tidak ada yang dapat menolongnya, kecuali menggumamkan, “innalilahi Wa Innaillahi Roji’un.” Keesokan malamnya Hansyim pergi berjalan kaki dengan sandal kulitnya, merasakan aura kejantanan sangat kental yang membaur dengan keadaan alam yang keras.setiap hentakannya masih membuatnya teringat akan istri dan anaknya dan ia merasakan goresan itu di setiap denyut nadinya. Hasyim tiba di area berbukit pasir mengelilingi Mekkah, di dekat kuburan istri anaknya. Jemarinya meraba jubah wol yang membalut tubuhnya yang kurus saat angin berdesir menerjang tubuhnya. Hasyim menengadah ke atas, selama beberapa saat merasakan malam terkahirnnya di Mekkah. 

 

Leave a Reply